Diki Yakub Subagja
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang
Momentum Pemilu 2024 tidak terasa tinggal menghitung hari. Pemilu adalah suatu konsekuensi logis prinsip Kedaulatan Rakyat (demokrasi) dalam berbangsa dan bernegara sehingga pasca reformasi lebih lanjut secara eksplisit dan sistematis instrumental pemilu diatur di pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam setiap momentum pesta demokrasi (Pemilu) pasti sangat kental dengan yang namanya nuansa pengharapan kepada para kandidat untuk mewujudkan arah dan masa depan bangsa dari berbagai sektor menjadi lebih baik lagi. Namun, untuk mewujudkan semua itu tentunya tidaklah semudah membalikan telapak tangan.
Dalam hal itu, perlu ada penguatan sistem pemilu yang berkualitas supaya hasil dari pemilu tersebut dapat melahirkan pemimpin bangsa yang berkualitas.
Dalam rangka mewujudkan suatu pelaksanaan pemilu yang berkualitas tentu membutuhkan ikhtiar bersama yang sangat holistik-komprehensif. Baik itu dari pihak instansi penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, partai politik, elemen masyarakat bahkan seluruh stakeholder yang ada.
Saat ini, pertunjukan para politisi baik itu caleg, capres ataupun cawapres dari seluruh partai pengusungnya lebih banyak kandidat yang hanya mengedepankan gimmick daripada suatu gagasan konkret yang dapat menyelesaikan berbagai macam persoalan di akar rumput masyarakat.
Dari akrobat politik itu dikhawatirkan akan berdampak terhadap polarisasi kelompok masyarakat dan menurunnya tingkat pendidikan politik di kalangan masyarakat.
Belum lagi dari berbagai potensi pelanggaran dan kecurangan pemilu yang selalu mewarnai setiap penyelenggaraan pemilu. Baik itu dari budaya politik uang yang sulit untuk dihilangkan maupun kecurangan sistem prosedural yang dirancang oleh pihak yang ingin melanggengkan kekuasaannya di pucuk tertinggi setiap jabatan.
Semua fenomena itu selalu terjadi dalam setiap momentum kontestasi karena dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kesenjangan ekonomi, strata sosial, design regulasi setiap instansi strategis sampai perundang-undangan yang menguntungkan segelintir kelompok tertentu saja.
Jika kita tinjau dari pemilu sebelumnya pada tahun 2019, berdasarkan hasil pelanggaran Pemilu Tahun 2019 (Bawaslu, 2019) menyatakan bahwa terdapat 6.649 temuan yang telah diregistrasi, 548 pelanggaran pidana dan 107 pelanggaran kode etik, pelanggaran pidana tertinggi adalah politik uang (Delmana, 2020).
Bahkan, jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 mencapai angka 19,4% hingga angka 33,1%.
Sehingga, menurut studi yang dilakukan oleh The Latin American Public Opinion Project (LAPOP) Americas Barometer, Afrobarometer, Money Politics Project di Asia Tenggara negara indonesia saat ini berada pada posisi ketiga dunia dalam praktik politik uang. Dengan demikian, praktik politik uang merupakan budaya normal baru dalam pemilihan umum di indonesia.
Belum lagi jika kita lihat pasca debat kandidat capres dan cawapres terbaru yang kian memanas, serangan argumentasi dari para kandidat dalam debat tersebut lebih cenderung terhadap sentimen dan saling menyerang personal setiap lawan politiknya.
Akhirnya, karena arogansi dan ambisi terhadap kemenangan dari setiap kandidat, sesi debat pun berujung kepada laporan-laporan pelanggaran pemilu. Konflik yang diciptakan oleh kelompok elite itu berpotensi menjadi pemicu perpecahan terhadap kondisi akar rumput masyarakat.
Isu dari konflik itu akan menjadi “mainan” narasi politik para politisi dan tim pemenangan dari setiap kandidat untuk meyakinkan pembenaran subjektif mereka kepada masyarakat. Akibatnya, potensi perpecahan di lapisan masyarakat akan semakin besar.
Oleh karena itu, demi mewujudkan suatu pelaksanaan pemilu yang berkualitas dan mencegah semua potensi pelanggaran, kecurangan pemilu dan berbagai dampak negatif dari pemilu diperlukan berbagai upaya penangan yang sangat serius.
Tentunya hal tersebut tidak akan bisa dicapai dengan hanya sebatas mengandalkan membaca berbagai literatur dan mengikuti forum-forum diskusi saja.
Tentu, disini diperlukan suatu komitmen bersama dan mengambil berbagai langkah aksi nyata secara seksama untuk mengatasi permasalahan yang ada langsung dari akarnya. Dan literasi politik masyarakat adalah akar kuncinya.
Secara legal formil dan prosedural, lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu menjadi mesin utama dalam berjalannya sistem pemilu.
Namun, kesadaran dan peran serta dari masyarakat sebagai suara penentu juga harus ikut ambil bagian menjadi lokomotif utama dalam mewujudkan semua harapan dari jurang keterpurukan konsep sistem demokrasi di indonesia.
Karena percaya atau tidak, kandidat siapapun nanti yang akan menjadi pemenang kontestasi dan memimpin berjalannya roda pemerintahan negara, kondisi masyarakat bawah tidak akan mengalami banyak perubahan yang sangat signifikan dari kondisi sebelumnya.
Semua itu bisa dilihat dari fenomena pemilu-pemilu sebelumnya. Dimana masyarakat bawah hanya terjebak dalam euforia fanatisme dan harapan semu terhadap salahsatu kandidat belaka.
Sehingga, setelah merasakan kekecewaan dari kandidat yang telah diusung sebelumnya, kepercayaan masyarakat terhadap fenomena politik menjadi menurun dan akhirnya hanya bisa pasrah dengan keadaan seperti dengan memanfaatkan momentum lima tahunan ini sebagai mata pencaharian sampingan yang bersandarkan terhadap seberapa banyak uang yang bisa didapatkan dari masing-masing kandidat yang akan berkontestasi. Jika tidak dapat uang yang akan di genggam, ya say sorry yee sayang !
Bukan tanpa sebab, semua hal itu sudah di design dengan rapih dalam sebuah sistem yang dinamakan pemilu. Awalnya, maksud dan tujuan pemilu ini merupakan representasi dari demokrasi untuk menggantikan kekuasaan yang sah secara konstitusional oleh suara dominan rakyat.
Namun, kekuasaan itu pada akhirnya hanya akan kembali jatuh dipelukan segelintir orang dilapisan atas lagi.
Itu semua tidak lain karena akibat dari sebuah sistem yang sudah di design dengan sangat ciamik dalam pemilu.
Jika penulis keliru, coba kita perhatikan apakah kita pernah melihat seorang petani desa atau cendikiawan kelas bawah mendapatkan kesempatan yang sama dalam memegang jabatan strategis di dalam sistem birokrasi kita untuk memperjuangkan keresahan kelompok mereka di lapangan?
Jika ada pun, itu mungkin terbilang sedikit jumlahnya dan hanya ada di beberapa wilayah yang memang solidaritas masyarakatnya kuat untuk mendorong tokoh yang benar-benar akan mewakili dan memperjuangkan kepentingan mereka bersama di ranah pembuat kebijakan. Itu semua karena akses untuk masuk kedalam sistem birokrasi pemerintahan membutuhkan ongkos yang lumayan besar dan tidak cukup dengan bermodalkan kapasitas intelektual saja.
Pentingnya Peran Aktif Masyarakat
Sudah saatnya masyarakat hari ini tidak terlalu banyak berharap terhadap hasil pemilu. Berbeda pilihan dalam pemilu itu suatu hal yang wajar dan tidak perlu untuk di perdebatkan, apalagi menjadi bahan perpecahan. Jadi, silahkan masyarakat pilih kandidat yang benar-benar layak berdasarkan pertimbangan yang rasional dan objektif.
Saat ini sudah banyak informasi dan platform yang menyediakan data serta informasi terkait kandidat bahkan partai politik yang mengusung kandidat. Dari informasi tersebut kita dapat menggunakannya untuk menganalisis kandidat mana yang memang benar-benar layak untuk dipilih dan dapat mewakili kepentingan kita bersama.
Setelah itu, daripada kita hanyut dalam konflik yang diciptakan oleh orang-orang elite, sebenarnya masyarakat bisa melakukan gerakan kolektif dari lapisan paling bawah untuk membangun basis kekuatan dengan membentuk sistem pengawasan bersama para stakeholder yang mempunyai sorotan isu yang sama terhadap praktik-praktik pelanggaran dan kecurangan dalam pemilu.
Mengapa hal itu sangat penting? Selain dari regulasi dan sistem penyelenggaraan pemilu yang masih terdapat berbagai ketimpangan, penulis berpendapat bahwa “Pemilu saat ini masih digerakkan oleh uang dan untuk mendapatkan uang !”.
Sehingga, suara masyarakat sampai saat ini masih bisa diperjual-belikan (sale democracy) dan mental pemimpin yang akan terbangun adalah mental pemimpin yang berpotensi menjadi perampok aset negaranya sendiri. Dengan ongkos politik yang sangat tinggi, setiap kandidat setidaknya pasti menginginkan modal awalnya (ongkos politik) kembali.
Jadi, setelah para kandidat itu resmi terpilih menjadi wakil rakyat di pemerintahan, mereka akan berupaya dengan berbagai cara untuk mencari dan menciptakan peluang supaya modal awal politiknya terganti. Ancaman terbesarnya adalah menghalalkan tindakan korupsi, baik itu korupsi anggaran, administrasi ataupun regulasi. Oleh karena itu, peran dan partisipasi aktif dari masyarakat akan sangat berpengaruh besar terhadap kualitas penyelenggaraan dan hasil dari pemilu.
Dengan peran aktif masyarakat disertai dengan literasi politik yang baik, diharapkan dapat meningkatkan kecerdasan bangsa dan mampu mengurangi bahkan membatalkan pelbagai potensi negatif dari proses penyelenggaraan serta hasil dari pemilu.
Sehingga, momentum pemilu kita tahun ini menjadi yang terakhir kalinya masyarakat kita dituntut untuk mengikuti hegemoni ambisi para kandidat peserta pemilu.
Bahkan, penulis berharap dalam momentum pemilu saat ini masyarakat lah yang harus mempunyai ambisi besar dan membangun solidaritas persatuan yang kuat untuk mengawasi jalannya roda organisasi pemerintahan dan tentunya berkontribusi besar dalam agenda pembangunan nasional negara.