Penulis : Diki Yakub Subagja
Secara historis, Indonesia mempunyai catatan sejarah yang sangat panjang sebelum proklamasi kemerdekaan di deklarasikan oleh para founding parents kita. Salah satunya adalah masa kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara mulai dari abad sebelum masehi, sampai abad para kolonialisme datang ke bumi pertiwi.
Pada masa kerajaan itu, ada beberapa hal yang sangat menarik untuk kita tinjau ulang supaya bisa menjadi pembelajaran untuk perkembangan bermasyarakat dan berbangsa pada saat ini. Diantaranya adalah kebiasaan bagi-bagi kekuasaan untuk keluarga kerajaan yang dikenal pada saat ini dengan sebutan “Politik Dinasti”.
Ya, Politik Dinasti merupakan salah satu kebiasaan yang terus di budayakan sejak zaman dahulu sampai sekarang. Kebiasaan itu seakan sudah sangat melekat dengan lingkungan sosial masyarakat Indonesia karena pengaruh kharismatik atau kewibaan secara personal yang di gariskan secara turun temurun. Hal itu bisa dilihat seperti masih eksisnya kesultanan yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sampai saat ini, masyarakat setempat masih mengakui eksistensi ketokohan dari Kesultanan tersebut sehingga negara pun memberikan kewenangan secara formal dengan membuatkan regulasi yang bernama “Otonomi Khusus Daerah” untuk dijadikan acuan dalam menjalankan roda Kesultanan yang berada di wilayah tertentu supaya tidak bertentangan dengan semangat persatuan dan kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konteks masa lalu, pengakuan masyarakat terhadap eksistensi dari sistem pemerintahan yang berdasarkan kerajaan atau dinasti tidak lain karena di pengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor loyalitas yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang atau lembaga institusi karena dianggap akan melindungi keamanan dan kesejahteraannya dalam menjalani proses kehidupan mereka.
Loyalitas Masyarakat Kepada Raja Pada Masa Lalu
Jika kita tinjau dalam konteks loyalitas masyarakat Jawa Kuna pada Raja menurut prasasti abad 11-15 Masehi, Robert Paul Wolff mengemukakan bahwa loyalitas dapat terbentuk ketika ada keterikatan antara satu pihak (loyalis) dan lainnya (objek loyalitas). Keterikatan itu dapat bermacam-macam sifat dan bentuknya.
Berangkat dari pemikiran itu, Wolff berpendapat bahwa keterikatan itu dapat terbentuk secara sadar maupun tidak. Keterikatan yang pada awalnya terbentuk secara tidak sadar biasanya akan membentuk loyalitas yang bersifat alami atau natural, yaitu jenis kesetiaan yang biasanya tidak disadari keberadaannya.
Misalnya loyalitas itu terbentuk dari ajaran yang telah ditanamkan dalam diri seseorang sejak kecil. Dengan kata lain loyalitas alami lazimnya terbentuk dari norma yang berlaku dalam masyarakat, kepercayaan, atau kebudayaan. Sering kali, tiga hal itu saling berkaitan.
Bentuk loyalitas yang ditunjukkan oleh rakyat Jawa Kuna pada raja di abad XIII–XV dapat dipilah ke dalam tiga kelompok, yaitu jasa dalam perang, pengabdian luar biasa, dan menjaga kesejahteraan rakyat. Perbedaan bentuk loyalitas itu dipengaruhi oleh faktor tertentu: keagamaan, kondisi kenegaraan kerajaan, dan kedudukan sosial.
Faktor keagamaan berperan pada awal pembentukan loyalitas masyarakat pada raja. Kondisi kenegaraan kerajaan memengaruhi loyalitas karena rakyat sebagai loyalis akan menyesuaikan bentuk bantuan dengan apa yang dibutuhkan oleh raja. Kedudukan sosial memengaruhi tindakan pemberi loyalitas. Loyalis dengan kedudukan sosial lebih rendah biasanya menemukan lebih banyak batasan dalam loyalitas pada raja.
Bentuk loyalitas serta faktor yang memengaruhinya menunjukkan jenis loyalitas yang diberikan oleh rakyat Jawa Kuna pada raja, yaitu kombinasi dari loyalitas natural dan loyalitas kontraktual. Loyalitas rakyat Majapahit pada raja pada awalnya terbentuk secara alami, baik karena pengaruh nilai-nilai yang dianut maupun karena afektivitas antara loyalis dan raja. Kemudian, loyalitas rakyat Majapahit juga menunjukkan ciri-ciri loyalitas kontraktual, yaitu tindakan itu dilakukan secara sadar dan dengan harapan raja akan memberi balasan atas kesetiaannya.
Temuan fenomena loyalitas dalam masyarakat Jawa Kuna menunjukkan peran masyarakat dalam pemerintahan pada masa itu dan relasi vertikal antara raja dan rakyat. Keduanya bersinergi dalam membangun dan mempertahankan kerajaan dari musuh.
Loyalitas Masyarakat Kepada Raja atau Institusi dalam Konteks Saat Ini
Meskipun pengaruh budaya dari sejarah bangsa kita masih melekat kedalam karakter masyarakat, namun dengan seiring berkembang pesatnya akses terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat ini telah membuat orientasi loyalitas masyarakat bergeser dari loyalis simbolik kepada Raja, Ratu atau Institusi menjadi loyalis substantif yaitu kepada nilai-nilai ideal yang rasional.
Namun, pergeseran loyalitas itu masih belum merata karena masih terjadi beberapa kondisi ketimpangan seperti pendidikan dan ekonomi serta upaya-upaya hegemoni yang dilakukan oleh kelompok-kelompok elit sehingga menimbulkan rasa ketergantungan dari para masyarakat yang merasa tidak berdaya untuk tetap mempertahankan loyalitasnya hanya kepada simbol ketokohan atau instansi.
Dari kondisi tersebut berhasil melahirkan suatu kondisi masyarakat feodal yang dimana suatu kelompok masyarakat yang mempunyai kekuatan besar baik itu secara fisik, ekonomi, spiritualitas, intelektualitas maupun konektivitas berpotensi menghegemoni kelompok yang mempunyai kondisi lebih lemah.
Akhirnya, jalan cepat untuk mengubah kondisi kelompok yang lemah adalah dengan cara “menjilat” kepada kelompok yang lebih kuat. Jika dalam istilahnya Bambang Wuryanto atau yang sering dikenal dengan sebutan “Bambang Pacul” menyebutnya dengan istilah “Menjadi Korea”.
Hal itu bisa dilihat dari kondisi dalam kontestasi politik hari ini. Mulai dari Pilpres (Pemilihan Presiden) pada 14 Februari 2024 lalu, sampai momentum Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) yang akan digelar pada bulan November 2024 nanti. Hampir seluruh peserta kontestasi itu mempraktikan Politik Dinasti. Dimana para anggota keluarga dari kelompok Petahana langsung diberikan posisi-posisi strategis untuk melanjutkan kursi kekuasaan. Bahkan, mereka mencoba untuk memanipulasi sistem penyelenggaraan kontestasi supaya anggota keluarga mereka berhasil menjadi pemenang.
Dari peristiwa itu, muncul suatu trending topik yang menarik dimana Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia mengucapkan istilah “Raja Jawa” dalam salah satu pidatonya pekan lalu. Dimana istilah itu tentu secara tidak langsung akan mengarah kepada Presiden Joko Widodo yang dimana beliau berasal dari suku Jawa dan saat ini masih memegang kekuasaan tertinggi.
Dengan kekuasaannya itu, masyarakat secara tidak sadar hampir kecolongan dengan manuver politiknya yang membegal partai-partai politik untuk menciptakan koalisi besar yang bernama KIM Plus (Koalisi Indonesia Maju Plus) yang tidak bisa di kalahkan untuk proses kepentingan politik dinastinya itu di berbagai wilayah.
Untungnya, pada tanggal 22 Agustus 2024 kemarin berbagai gabungan dari unsur masyarakat merespon gerakan manuver politik si “Raja Jawa” itu dengan melakukan aksi demonstrasi di berbagai wilayah untuk menghentikan gerakan manuver politiknya.
Meskipun pada saat itu masyarakat berhasil menghentikan manuver politiknya, namun masyarakat tetap harus waspada dengan manuver politik si “Raja Jawa” selanjutnya.
Kejadian menarik terjadi di wilayah Provinsi Banten, dimana disitu biasanya menjadi tempat kontestasi dari berbagai keturunan dinasti, yaitu dari keluarga Atut Chosiyah, Jayabaya dan Dimyati.
Dalam Pemilihan Kandidat Calon Gubernur Banten sempat mengalami drama politik yang mencuat kepada media massa yaitu tentang “Ratu Banten Melawan Raja Jawa”. Kejadian tersebut bermula dari Airin Rachmy Diany yang merupakan kader Golkar dan Adik Ipar dari Ratu Atut tidak diberikan rekomendasi oleh DPP Partai Golkar untuk menjadi Calon Gubernur Banten.
Justru, DPP Partai Golkar pada hari Senin (26/8) itu malah memberikan rekomendasi kepada pasangan Andra Soni dan Dimyati Natakusumah karena mereka adalah bagian dari proyek politik pusat untuk memperkuat dan mempermulus jalan KIM Plus di berbagai wilayah.
Mengetahui hal itu, sontak Airin langsung melakukan manuver dengan masuk kedalam partai oposisi yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan di deklarasikan pada saat bersamaan dengan rekomendasi DPP Golkar kepada Andra Soni dan Dimyati.
Manuver Airin itu menjadi simbol “Ratu yang Menolak Tunduk” terhadap hegemoni si “Raja Jawa” yang ingin memperluas jaringan kekuasaannya. Yang pada akhirnya, Manuver Airin tersebut memperoleh hasil positif pada hari selasa (27/8), dimana DPP Golkar berubah sikap untuk kembali menyatakan dukungannya kepada Airin karena merupakan kader partainya.
Dari peristiwa tersebut menggambarkan bahwasanya pada era politik saat ini ada seorang Raja dan Ratu yang sedang berebut Tahta. Namun, bila kita pertanyakan bersama, sebenarnya Tahta itu milik siapa? dan fungsi dari Tahta itu untuk siapa? Tentu Tahta itu milik rakyat dan untuk rakyat! Tapi kemana rakyat hari ini?
Kita sebagai rakyat yang berdaulat atas kemerdekaan negara ini apakah akan terus menjadi penonton dan saksi bisu dari peristiwa perebutan kekuasaan oleh beberapa kelompok keluarga saja? Atau kita akan mengambil tindakan bersama supaya rakyat diberikan kesempatan yang sama? Tentu itu kembali kepada pilihan hati nurani dan akal sehat kita masing-masing.
Namun, apabila masyarakat tidak pernah mengambil peran yang sangat strategis dalam setiap kesempatan, maka peran tersebut akan diambil alih oleh beberapa kelompok kekuasaan yang rakus akan segala hal.
Apakah kita sebagai rakyat akan tetap diam ketika melihat saudara-saudari kita yang masih kelaparan, tidak bisa sekolah, tidak mendapatkan layanan kesehatan, tidak mempunyai tempat tinggal bahkan menjadi kacung di tanah warisan orang tua mereka sendiri?
Jika memang negara ini menganut sistem demokrasi, Sudah saatnya rakyat kembali menjadi raja yang sebenarnya. Apabila H. O. S Tjokroaminoto diberikan gelar “Raja Tanpa Mahkota”, maka rakyat merupakan “Raja Tanpa Tahta”. Meskipun demikian, bukan berarti loyalitas untuk melayani kita sebagai rakyat hilang ataupun berkurang.
Justru dengan kondisi demikian, supaya bisa menyadarkan siapapun nanti yang duduk di dalam singgasana tahta rakyat selalu ingat bahwa pemilik sejati dari Tahta itu adalah rakyat.
“Vox Populi Vox Dei” Suara rakyat adalah suara tuhan. Prioritas utama pejabat bukan lagi perintah Raja, Ratu apalagi perintah keluarga. Melainkan, perintah utama para pejabat adalah perintah rakyat yang berdaulat!